Alasan lainnya: Gempa bumi jarang terjadi di Cianjur, wilayah yang terletak hanya tiga jam perjalanan dari ibu kota Indonesia, Jakarta. Hal ini menyebabkan banyak penduduk setempat tidak tahu apa yang harus dilakukan jika terjadi gempa, padahal rumah mereka tidak dirancang tahan terhadap gempa sebesar apa pun.
Tiga bulan setelah gempa mematikan tersebut, pemerintah daerah masih mengambil pelajaran tentang bagaimana perencanaan tata ruang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa dan merancang ulang wilayah tersebut untuk masa depan yang lebih aman.
‘Tunggu aku di surga, anakku’: Korban terbesar gempa di Jawa Barat adalah anak-anak sekolah
RUMAH YANG DIBANGUN DENGAN BURUK
Farrizki Astrawinata menggeleng tak percaya saat berjalan melewati gang-gang Desa Benjot, Cianjur, yang dipenuhi puing-puing.
Sebagai seorang arsitek yang ditugaskan oleh sebuah organisasi amal untuk merancang fasilitas perumahan sementara bagi para penyintas gempa Cianjur, Astrawinata tahu seperti apa seharusnya rumah yang dibangun dengan baik. Namun apa yang dilihatnya di beberapa rumah di desa padat penduduk justru bertolak belakang.
“Rumah ini tidak memiliki satu kolom pun,” katanya kepada CNA saat dia menemukan sebuah rumah yang rata dengan tanah. Astrawinata mengacu pada fitur struktural yang dimaksudkan untuk menjaga bangunan tetap tegak, dan menambahkan bahwa setidaknya harus ada enam hingga delapan kolom seperti itu untuk rumah sebesar itu.
Anak-anak bermain layang-layang di atas reruntuhan desa mereka yang dilanda gempa, Rawa Cina di Cianjur, Indonesia. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)
“Lihatlah kualitas campuran semen ini,” lanjutnya sambil mengambil bongkahan tembok yang rusak dan menghancurkannya menjadi debu kasar dengan tangannya.
Supartoyo, peneliti senior di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Indonesia, menyoroti bahwa beberapa desa di Cianjur sangat padat penduduknya sehingga rumah-rumah hanya dihubungkan oleh lorong-lorong labirin yang sempit.
Hal ini, kata dia, menjadi faktor lain mengapa banyak korban jiwa akibat gempa berkekuatan sedang tersebut. “Lorong-lorong sempit menghalangi warga untuk segera melarikan diri ke tempat yang aman di tengah kekacauan dan kehancuran yang disebabkan oleh gempa bumi,” kata peneliti, yang sama seperti kebanyakan orang Indonesia, hanya menggunakan satu nama.
Supartoyo, peneliti senior di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Indonesia.
Para ilmuwan menyimpulkan bahwa gempa di Cianjur disebabkan oleh garis patahan yang belum dipetakan sebelumnya.
Garis Sesar Cugenang – yang namanya diambil dari nama distrik yang paling parah terkena dampaknya dan diyakini menjadi lokasi pusat gempa pada bulan November – mungkin telah terbengkalai selama beberapa generasi hingga akhirnya semua orang tidak menyadari keberadaannya, kata para ilmuwan.
“Semua orang (di Cianjur) mengatakan bahwa mereka tidak menyadari bahwa daerah mereka masing-masing rawan gempa,” kata Irwan Meilano, dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung kepada CNA.